PendahuluanKemarin saya menulis blog post berjudul Beban ganda (double burden) regulasi air tanah di Indonesia. Blog post tersebut adalah intro dari makalah saya dan beberapa orang rekan dengan judul yang sama. Makalah tersebut telah kami kirimkan ke Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. Preprint kami unggah juga ke server Zenodo (tautan). Beberapa komentar telah kami dapatkan di laman Facebook. Beberapa yang paling sering muncul adalah:Tapi yang pasti akan sangat berguna utk pengelolaan air tanah di Indonesia. Benangnya sekarang betul sekali masih kusut. Kemajuannya adalah masing stakeholder mulai memegang benang kusut, masih jauh membentangkan. Terimakasih banyak sekali artikel tsb.Bagaimana bisa daerah menerbitkan perda terkait objek yang sudah tidak menjadi kewenangannya? Kalau diakui bahwa Cekungan Air Tanah (CAT) tidak mengikuti batas-batas administratif, mendorong kab/kota untuk menerbitkan aturan sendiri-sendiri bisa jadi bumerang untuk konservasi air tanah, bagaimana kalau tidak sinkron? Asumsi bahwa 'Kab/kota memiliki infrastruktur air tanah yang lebih lengkap' tidak didukung data yang kuat (mungkin iya di Bandung, tapi tidak di semua kab/kota). Kenyataannya, banyak dinas teknis kabkot tidak tahu berapa persis izin yang ada, karena yang pegang Dispenda (karena urusan pajak), boro-boro punya infrastruktur pengendalian. Akan saya jawab satu-satu.Komponen yang diusulkan untuk dilakukan kab/kotaKalau makalah kami dibaca, maka anda akan paham bahwa komponen yang kami usulkan untuk dibagi perannya adalah komponen konservasi dan pemberdayaan. Komponen konservasi akan berisi berbagai upaya yang dapat dilakukan kab/kota untuk dapat menjaga indikator keberlanjutan sumber daya air, misal untuk air tanah: posisi muka air tanah dan kualitas air tanah. Untuk itu kab/kota akan menggunakan data pengguna air yang selama ini telah mereka miliki, berapa pengambilan air tanahnya masing-masing, dan bagaimana posisi muka air tanahnya. Untuk komponen pemberdayaan, kami mengusulkannya karena ini penting, para pemangku kepentingan harus sadar bahwa masing-masing memiliki peran dalam menjaga kesinambungan pengelolaan air (khususnya air tanah). Semua, tidak terkecuali. Untuk itu kab/kota secara kontinyu dapat menyelenggarakan acara-acara capacity building yang diikuti oleh pemangku kepentingan. Pesan penting yang harus disampaikan adalah:Pihak pemerintahan: Bahwa sumber daya air adalah masalah bersama. Siapun yang akan menangani silahkan, yang penting jangan tidak diurus. Pihak industri: Bahwa urusan air dan air tanah tidak berhenti saat mereka telah membayar pajak air. Pihak masyarakat: Bahwa urusan konservasi air dan air tanah, khusus air tanah tak tertekan adalah juga urusan mereka. Bagaimana menghemat air dan melakukan recycle air adalah tugas mereka. Tidak cukup dengan membuat sumur resapan yang sembarang atau lubang biopori yang mudah runtuh. Masalah kewenanganKembali lagi, dalam makalah kami tekankan bahwa kewenangan pengelolaan air tanah adalah sudah menjadi kewenangan provinsi. Tapi apa sudah ada provinsi yang menyambut kewenangan tersebut dengan update regulasi di tingkat provinsi. Ada setidaknya contoh dua provinsi yang membuat Perda tentang Pengelolaan Air pada tahun 2014 dan 2015. Masalahnya substansi dalam perda masih merujuk UU No. 7/2004 dan PP No. 43/2008 (Contoh Lampung dan Gorontalo). Provinsi tidak dilarang untuk menyepakati partisipasi kab/kota dalam kegiatan pengelolaan air tanah atau air pada umumnya.Bila dirasa berat, karena berbagai masalah, maka provinsi tidak dilarang untuk menyepakati partisipasi kab/kota dalam kegiatan pengelolaan air tanah dan air pada umumnya. Bila ini terjadi, maka komponen konservasi/pemantauan dan pemberdayaan adalah yang saya usulkan, seperti sub bab di atas.Seperti telah dijelaskan di atas, karena lingkupnya adalah konservasi/pemantauan dan pemberdayaan, maka tidak akan terlalu tergantung lokasi. Dalam hal ini yang dimaksud adalah CAT yang terletak di kab/kota yang berbeda tapi pada provinsi yang sama.Dari sisi yang lain lagi. Bila memang di masa tunggu regulasi ini, kab/kota sudah tidak lagi memiliki kewenangan, mestinya dibolehkan merujuk kepada stream UU lain yang kab/kota masih memiliki kewenangan, misal UU Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang. Komponen air ada dalam keduanya.Masalah sinkronisasiSinkronisasi lingkup regulasi dapat dilakukan bila provinsi memegang peran dominan untuk menggalang pola komunikasi diantara instansi pengelola air di tingkat kab/kota (lihat sub bab "Masalah kewenangan"). Tapi bagaimana bila provinsi tidak proaktif.Masalah infrastruktur/fasilitasAnda mungkin tidak percaya, bahwa infrastruktur/fasilitas terkait dengan aspek konservasi dan pemantauan sangat sederhana. Kami hanya perlu alat GPS, harganya Rp. 2 jt an, water detector, yang harganya tidak lebih dari 5 juta, dan alat ukur TDS (total dissolved solids) portabel yang harganya berkisar antara Rp. 750.000 sampai Rp. 5 juta. Bahkan kalau water detector sulit didapat, kami biasa menggunakan avometer yang dihubungkan kabel kutub positif dan negatif yang panjang. Janganlah dipikirkan harus menginstalasi alat telemetri seharga 30 an juta per unitnya. Cukuplah peralatan yang murah tadi.Cukuplah kita dapat gunakan peralatan yang murah dalam kegiatan hidrogeologi, tidak perlu semuanya menggunakan sistem telemetri. Yang terpenting adalah pencatatan data dan dokumentasinya. Kendala menurut saya justru bukan di fasilitas peralatan tersebut di atas, tetapi sumur pantau. Bila suatu daerah memiliki beberapa sumur pantau yang dedicated, maka setengah masalah sudah teratasi. Karena sumur pantau biasanya dalam, 30 - 100 m, maka muka air tanah yang terukur merepresentasikan kondisi akuifer yang relatif dalam. Masalah berikutnya adalah bagaimana dengan akuifer tak tertekan? atau biasa disebut akuifer dangkal? Maka sumur penduduk dapat dijadikan obyek pengukuran. Masalahnya saat ini sudah sangat sedikit sumur penduduk yang masih menyisakan lubang untuk pengukuran muka air tanah. Zaman dulu, sumur timba masih banyak, yang bisa digunakan sebagai obyek pengukuran.Masalah SDMMemang yang ideal ada tenaga berkualifikasi S3 hingga D3 yang terendah. Tapi pertanyaan saya, apakah bila SDM lengkap kemudian OPD (organisasi perangkat daerah), mampu melaksanakan semua tupoksinya sendiri, tanpa dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Menurut saya SDM memang masalah yang tidak kecil, tapi bukan syarat mati, sehingga program konservasi dan pemantauan tidak dapat dilaksanakan.Menurut saya SDM memang masalah yang tidak kecil, tapi bukan syarat mati, sehingga program konservasi dan pemantauan tidak dapat dilaksanakan.Katakanlah ada staff berkualifikasi S1 dari bidang geologi akan cukup sebagai koordinator. Ia akan memerlukan tim untuk melakukan pemantauan di wilayahnya. Untuk hal ini saya ingin meniru Kantor Pos. Mereka mudah sekali mendapatkan siswa SMK yang perlu program magang. Mengapa OPD pengelola air tidak menyontoh cara itu. Toh proses pengukuran yang perlu dilakukan bukanlah proses yang rumit.Beberapa update regulasiBerikut ini adalah beberapa update perangkat regulasi yang akan diterbitkan kementerian terkait:Rapermen zona konservasi air tanah (menunggu pembahasan terakhir).Rapermen nilai perolehan airtanah (sudah selesai pembahasan).Rapermen perizinan dan rektek (dalam proses telaah hukum).Permen cekungan air tanah (sudah ditandatangani Menteri).PP No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air, tautan (akan jadi bahan blog berikutnya).Masalah Pengusahaan Sumber Daya AirPengusahaan sumber daya air juga sering dihubung-hubungkan dengan komersialisasi air. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah. Ada banyak ahli di dunia yang juga kontra dengan air kemasan (bottled water). Dr. Raul Pacheco-Vega salah satunya, seorang peneliti dari Public Administration Division of the Centre for Economic Research and Teaching, CIDE Mexico. Baca juga artikel dari Polaris Institute, simak juga video dan narasi singkat dari Maude Barlow.Beberapa bahan bacaanRahman, I.N., 2015, Implikasi hukum putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Konstitusionalitas UU Sumber Daya Air, Jurnal Kajian Vol. 20 No. 2 Juni 2015, pp. 109 - 128, tautan.Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, tentang Pembatalan UU NO 7 Tahun 2004, tautan.Dewan Sumber Daya Air Nasional, 2015, Tindak lanjut putusan MK terhadap UU No. 7/2004 tentang SDA, tautan.Pekerjaan Umum, 2015, Pembatalan UU SDA Momentum Kembalikan Hak Pengelolaan Air Pada Negara, tautan.Jamil, B., 2015, Ihwal Pembatalan Undang-Undang Sumber Daya Air, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, tautan.